Siapa Yang Haram Dinikahi Karena Sebab Hubungan Keturunan

Siapa Yang Haram Dinikahi Karena Sebab Hubungan Keturunan

Pembagian Harta Haram

Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,

Harta haram ada dua macam: (1) haram karena sifat atau zatnya, (2) haram karena pekerjaan atau usahanya.

Harta haram karena usaha seperti hasil kezholiman, transaksi riba dan maysir (judi).

Harta haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih atas nama selain Allah.

Harta haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’ dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang tumbuh dari pekerjaan yang kotor.

Adapun harta jenis berikutnya diharamkan karena sifat yaitu khobits (kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ قَوْمٍ يَأْتُونَ بِاللَّحْمِ وَلَا يُدْرَى أَسَمَّوْا عَلَيْهِ أَمْ لَا ؟ فَقَالَ : سَمُّوا أَنْتُمْ وَكُلُوا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah ‘bismillah’) lalu makanlah.”[1] (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)

Hubungan yang sehat itu pada dasarnya masing-masing dari pasangan memiliki kebebasan untuk bisa mengungkapkan pendapatnya. Sedangkan di dalam sebuah hubungan yang tidak sehat kerap kali terjadi perdebatan akan hal-hal sepele yang sering kali tidak perlu ada.

Pasangan dengan hubungan yang sehat bisa dengan bebas mengungkapkan isi kepala dan hati mereka. Dan mereka sama-sama mau menerima pendapat pasangannya dengan terbuka. Komunikasi pun biasanya dilakukan secara intens. Sedangkan pasangan dengan hubungan yang tidak sehat akan selalu terjadi konflik setiap kali berkomunikasi semua ini terjadi karena saling mempertahankan ego masing-masing.

Diterima sedekahnya

Sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak diterima. Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, "Allah tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudhu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (khianat)" (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah melaksanakan kewajiban. Barangsiapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya." (HR. Ibn Hibban).

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.

Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.

Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.

Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.

Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?

Pencucian Harta Haram

Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri –semoga Allah memberkahi umur beliau– menerangkan bahwa harta haram bisa dibagi menjadi tiga dan beliau menerangkan bagaimana pencucian harta tersebut sebagai berikut.

1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.

2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.

Pasangan yang memiliki hubungan yang sehat lebih sering membicarakan segala masalah atau apapun dengan baik dan memutuskannya bersama-sama, berdasarkan kehendak bersama karena mereka sadar semunnya untuk kepentingan bersama sementara itu yang terjadi di dalam hubungan yang tidak sehat, salah satu pasangan akan memutuskan sesuatu secara sepihak saja.

Mereka yang memiliki hubungan sehat akan selalu berusaha membuat keputusan bersama-bersama, seperti akan makan di mana, nonton di mana, membeli barang dan banyak lainnya sebisa mungkin mereka akan berembug dulu. Sedangkan semua akan berbeda bagi mereka yang berada di dalam hubungan yang tidak sehat, pasangan akan memutuskan sepihak mereka makan di mana dengan penuh paksaan dan tidak pernah ingin mendengarkan masukan dan memikirkan apa yang di mau oleh pasangannya.

Kalau hubunganmu yang kalian jalani itu adalah sebuah hubungan yang sehat, kamu akan dengan tanpa sadar merasa bangga dan beruntung bisa memilikinya dan membagikan kisah cinta kalian berdua di depan teman-temanmu dengan senyum bahagia. Sedangkan jika kalian berada di dalam hubungan yang tidak sehat, jangankan bercerita, rasanya hanya untuk sekedar menyebut namanya atau mengingatnya saja sudah tidak ingin.

Hubungan yang sehat akan selalu dapat membuat pasangan merasakan kenyamanan dalam hati, senang, dan gembira dengan hanya memikirkan mereka yang kita sayang. Dengan sadar atau tidak kita akan menceritakan kebahagiaan yang kita rasakan kepada sahabat, teman bahkan keluarga kita dengan wajah yang berbinar-binar. Sementara, ketika kita dalam hubungan yang tidak sehat akan malas menceritakan hubungannya kepada orang lain. Jangankan bercerita, menyebut nama saja sudah malas.

Selalu ada ruang untuk kata maaf dan mampu memberikan maaf saat pasangan melakukan kesalahan di dalam hubungan yang sehat. Sedangkan untuk hubungan tak sehat, sering kali kata maaf atau penerimaan maaf sulit diberikan, taka jarang tidak ada perasaan bersalah sedikitpun ketika melakukan kesalahan.

Setiap kali membuat kesalahan kecil, besar, disengaja ataupun tidak, pasangan yang memiliki hubungan yang sehat akan saling meminta maaf dan merasakan perasaan bersalah. Hal itu dapat menunjukkan bahwa mereka saling menghargai perasaan pasangannya. Sementara itu, dai dalam hubungan yang tidak sehat, bila salah satu pasangan melakukan satu kesalahan, jangankan kata maaf, biasanya perasaaan bersalah tidak ada sedikitpun.

Keutamaan bagi Orang yang Mencari Harta Halal

Ada banyak keutamaan bagi orang-orang yang membatasi diri dengan yang halal. Beberapa hadits menjelaskan keutamaannya.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

1- Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

2- Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

3- Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Allahummak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa aghniniy bi fadhlika ‘amman siwaak. [Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dan jauhkan dari bergantung pada selain-Mu]. (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Kata Tirmidzi, hadits ini hasan ghorib. Sebagaimana disebutkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1: 474, hadits ini hasan secara sanad)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Maktab Jaliyat (Islamic Center) Bathaa’, Riyadh-KSA, 28 Shafar 1434 H

[1] HR. Ibnu Majah no. 3174, shahih kata Syaikh Al Albani.

Harta haram itu ada dua:

Jenis kedua ini ada perbedaan pendapat dari dua sisi:

Terkait dengan pelakunya jika ia bertaubat, apakah ia wajib mengembalikan atau disedekahkan atau boleh dimiliki ?

Kaitannya dengan boleh dimiliki, apakah dibedakan antara orang yang tidak tahu kalau hukumnya haram dan orang yang sudah mengetahuinya ?

Silahkan dibaca penjelasan masalah ini pada jawaban soal nomor: 219679

Apakah harta tersebut menjadi halal bagi orang selain pelakunya, seperti pindahnya harta tersebut kepada orang lain karena sebab yang mubah, seperti karena hibah, diwariskan, atau untuk nafkah ataukah tetap tidak halal ?

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pertama: Tetap tidak halal bagi pelakunya dan juga bagi orang lain.

Ini pendapatnya jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan yang dipilih oleh Lajnah Daimah.

Kedua: Harta tersebut menjadi halal bagi selain pelakunya, jika harta tersebut berpindah dari pelaku kepada orang lain dengan cara yang halal, seperti; hibah, warisan dan lain sebagainya.

Pendapat inilah yang menjadi sandaran Malikiyah, dan sebagian Hanafiyyah, Hasan Al Basri, Az Zuhri, dan yang dipilih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-.

Baca juga: Al Asybah wa An Nazhair, karya: Ibnu Nujaim: 247, Hasyiyah Ibnu Abidin (5/99), Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640, Ad Dakhirah karya Al Qarafi: 13/318, Manhu Al Jalil Syarah Mukhtashor Kholil: 2/416, Ihya Ulumuddin: 2/130, Al Majmu’: 9/351, Al Inshaf: 8/322, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 29/307, dan Fatawa Lajnah Daimah: 16/455.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang berlaku riba, ia telah meninggalkan harta dan anak yang dia mengetahui kondisi ayahnya. Apakah harta tersebut menjadi halal baginya dengan warisan atau tidak ?

“Adapun masalah bahwa anaknya mengetahui kalau harta ayahnya mengandung riba, maka hendaknya ia mengeluarkannya dengan cara mengembalikannya kepada pemiliknya jika memungkinkan, namun jika tidak maka disedekahkan, dan sisanya sudah tidak haram lagi baginya, akan tetapi sejumlah harta yang masih syubhat maka disunnahkan untuk ditinggalkan, jika tidak harus digunakan untuk membayar hutang atau menafkahi keluarga.

Kalau ayahnya tersebut masih terikat dengan transaksi ribawi dimana pada ahli fikih masih memberikan rukhsoh (keringanan), maka ahli waris diperbolehkan mempergunakannya.

Jika hartanya masih bercampur antara yang halal dan yang haram, maka masing-masing diperkirakan dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. (Majmu’ Fatawa: 29/307)

Ini merupakan pendapat jumhur ulama

“Dan diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata tentang seseorang yang bekerja lalu ia terjerumus ke dalam sogokan, korupsi, dan pembagian seperlima (dari negara) dan bagi siapa saja yang bisnisnya banyak mengandung riba. Semua yang ia tinggalkan dari harta warisan maka akan menjadi haknya ahli waris dengan warisan yang telah Allah wajibkan kepada mereka, baik mereka mengetahui buruknya pekerjaannya atau tidak mengetahui. Sementara  dosa kedzoliman dilimpahkan kepada pelaku dosa tersebut”. (Fatawa Ibnu Rusyd: 1/640)

Ini merupakan pendapat yang kedua.

Yang menjadi dalilnya Jumhur adalah bahwa harta tersebut tidak halal bagi pelakunya dan tidak dapat dimiliki secara syari’at. Seharusnya melepaskan diri atau mengembalikannya dan tidak dialihkan kepada orang lain; karena peralihan kepemilikan melalui warisan atau dengan hibah adalah menjadi bagian dari kepemilikannya juga, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan.

Sedikit sekali Jumhur (mayoritas ulama) membahas dalam masalah ini, karena bertumpu pada hukum asal, yaitu; ia termasuk harta yang haram, sehingga dengan kematian tidak dapat merubah harta tersebut menjadi baik, begitu juga perpindahan dari satu tangan ke tangan lainnya.

Yang menjadi dalil pendapat kedua:

Hal ini dijawab bahwa hartanya orang-orang yahudi itu termasuk harta yang campur, sementara pembahasan ini berkaitan dengan harta yang haram yang tidak bercampur dengan yang lainnya.

Akan tetapi telah dinyatakan dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan madzhab ini, hal itu sangat jelas sekali, Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:

“Telah diriwayatkan dalam hal itu beberapa atsar dari generasi salaf, ada riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa ia pernah ditanya tentang seorang tetangga yang memakan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta yang buruk yang ia ambil dan mengajaknya untuk makan bersama, maka ia berkata: “Datangilah undangannya, karena hidangan itu baik bagi kalian, sementara dosanya hanya bagi dia”.

Dan di dalam riwayat lain ia berkata: “Saya tidak mengetahui sesuatu kecuali (hartanya) adalah buruk atau haram, lalu beliau berkata: “Penuhilah undangannya”.

Imam Ahmad telah menshohehkan riwayat ini dari Ibnu Ma’ud, akan tetapi ia berbeda dengan apa yang diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Dosa adalah yang menguasai hati”.

Dan telah diriwayatkan dari Sulaiman seperti ucapan Ibnu Mas’ud yang pertama, dan dari Sa’id bin Jabir, Hasan Al Basri, Muwarriq Al ‘Ijli, Ibrahim An Nakho’i, Ibnu Sirin dan yang lainnya. Ada banyak atsar yang ada di dalam kitab “Al Adab” karya Humaid bin Zanjawaih dan sebagiannya di dalam kitab “Al Jami’” karya Al Khallal, dan di dalam karya Abdurrazzaq bin Abi Syaibah dan yang lainnya”. (Jami’ Al Ulum wal Hikam: 1/209-210)

Jawaban dari hal ini adalah, jika memang demikian maka harta itu akan menjadi hutang dan tanggungan si mayyit, maka diwajibkan kepada ahli waris untuk melunasi hutang tersebut sebelum pembagian harta warisan.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Sebagian ulama berkata, harta yang haram karena pekerjaannya, karena dosanya bagi pelakunya, bukan bagi siapa saja yang mendapatkannya melalui jalan yang mubah dari pelaku tersebut, berbeda dengan harta haram karena dzatnya, seperti khamr, barang curian dan lain sebagainya.

Pendapat ini tepat dan kuat, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membeli makanan dari orang yahudi untuk keluarganya, beliau juga telah memakan kambing yang dihadiahi oleh wanita yahudi Khaibar, beliau juga telah memenuhi undangan orang yahudi, sebagaimana diketahui bahwa mereka sebagian besarnya telah berlaku riba dan memakan harta yang haram.

Kemungkinan yang menguatkan pendapat ini juga, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait masalah daging yang telah disedekahkan kepada Barirah:

هو لها صدقة ، ولنا منها هدية  انتهى

“Daging itu menjadi sedekah baginya, dan menjadi hadiah bagi kami”.

(Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 3/112)

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Coba anda lihat Barirah pembantu ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- misalnya, dia diberi sedekah daging, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memasuki rumah beliau, seraya mendapatkan bejana di atas api, lalu beliau mengajak makan namun daging tersebut tidak dihidangkan, dihidangkan makanan lain dan tidak ada daging, lalu beliau bersabda: “Sepertinya saya melihat bejana di atas api ?” mereka berkata: “Iya betul wahai Rasulullah, akan tetapi yang di dalamnya itu daging sedekah yang diberikan kepada Barirah”.

Dan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memakan sedekah, seraya beliau bersabda:

هو لها صدقة ، ولنا هدية

“Daging itu baginya sedekah, dan bagi kami adalah hadiah”.

Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memakannya, padahal diharamkan bagi beliau untuk memakan sedekah; karena beliau tidak menerimanya sebagai harta sedekah, akan tetapi beliau terima sebagai harta hadiah.

Kepada mereka pada ikhwah kami katakan:

Makanlah dari harta ayah kalian dengan senang hati, meskipun menjadi dosa dan bencana bagi ayah kalian, kecuali Allah -‘Azza wa Jalla- memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat kepada-Nya, barang siapa yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. (Al Liqo Asy Syahri: 45/26)

Alasan ini bisa dijawab dengan membedakan antara dua hal: bahwa Barirah telah mengambil harta tersebut dengan cara yang mubah lalu menjadi miliknya, lalu ia berhak untuk memberikannya sebagai hadiah kepada orang lain.

Sementara orang yang melakukan riba, ia tidak memiliki harta tersebut dengan jalan yang disyari’atkan, hingga bisa ia pindahkan kepada orang lain.

Iya, hal ini benar jika orang yang berlaku riba tersebut sudah bertaubat, pendapat kami adalah ia boleh memiliki harta itu jika belum tahu akan keharamannya, atau ia sudah tahu –sebagaimana kecenderungan pendapatnya Syeikh Islam- maka pada saat itulah, jika ia hadiahkan kepada orang lain maka dibolehkan, dan inilah analogi dengan hadits Barirah.

Adapun jika ia belum bertaubat, maka ia tidak bisa memiliki harta tersebut, juga tidak bisa pindah kepada orang lain, tidak dengan cara hibah atau dengan diwariskan; karena secara syar’i ia bukan pemiliknya.

Dalam hal ini, anda ketahui bahwa madzhab jumhur adalah madzhab yang kuat, ia sesuai dengan hukum asalnya, bahwa pelaku (riba) itu bukan pemilik harta tersebut sampai ia pindahkan kepada orang lain.

Ibnu Rajab telah menyebutkan pada tempat yang diisyaratkan tadi menurut sebagian atsar terdahulu dalam hal larangan tersebut, sesuai dengan pendapat jumhur, ia juga berkata: “Dan yang bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Salman adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar As Shiddiq bahwa beliau pernah memakan makanan lalu beliau menjelaskan bahwa itu berasal dari harta haram, lalu beliau memuntahkannya”. (Jami’ Ulum wa Al Hikam: 1/211)

Oleh karenanya Lajnah Daimah telah berfatwa bahwa bunga riba itu tidak bisa diwariskan, anaknya juga tidak boleh memakannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 16/455 dan 22/344.

Baca juga untuk tambahan penjelasan:

Ahkam Al Maal Al Haram wa Dhawabithu Al Intifa’ wa Tasharruf bihi fi Al Fiqhi Al Islami, DR. Abbas Ahmad Al Baaz, hal: 73-92, buku ini termasuk risalah ilmiyah, beliau menyimpulkan bahwa madzhab jumhur yang rajih.

Jami’ Al Ulum wa Al Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambali: 1/208-211.

Baca juga jawaban soal nomor: 70491 untuk mengetahui sikap seorang muslim pada saat berhadapan dengan masalah-masalah ijtihadiyah.

Setiap muslim dianjurkan untuk mencari rezeki yang halal. Hal ini dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan juga hadits Rasulullah SAW.

Harta yang halal didapatkan dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Sementara harta haram diperoleh dari jalan yang bathil.

Dalam surat An-Nisa ayat 29, Allah SWT berfirman,

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Mengutip buku Pengantar Fiqh Jual Beli & Harta Haram oleh Ammi Nur Baits dijelaskan harta haram adalah harta yang diperoleh dari pendapatan yang haram. Salah satu definisi pendapatan haram, disebutkan oleh Syaikh Dr. Khalid al-Mushlih dalam Jurnal Kementrian Keadilan, Arab Saudi, pendapatan haram adalah semua harta yang didapatkan atau dikumpulkan dengan cara yang melanggar syariat.

Dalam hidup tidak ada yang terabaikan, karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta, Allah SWT. Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu 'anhu, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana dia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya." (HR. Tirmidzi)

Semua yang dimiliki manusia akan dihisab oleh Allah SWT, dari mana didapatkan dan untuk apa digunakan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh akan datang satu zaman di tengah manusia, seseorang tidak lagi peduli dengan harta yang dia ambil, apakah dari harta halal ataukah dari harta haram." (HR. Ahmad & Bukhari)

Para sahabat Rasulullah SAW telah mencontohkan untuk senantiasa mencari dan mengonsumsi apapun yang halal.

Ada kisah dari Abu Bakr as-Shiddiq, sahabat Rasulullah SAW, suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, "Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?"

Abu Bakar menjawab, "Dari mana engkau dapat makanan ini?" Budak itu menjawab, "Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut."

Mendengar hal itu Abu Bakar langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.

Dalam kisah lain, Umar bin Khatab diberi minum susu dan beliau begitu senang. Kemudian beliau bertanya kepada orang yang memberinya minum, "Dari manakah engkau mendapatkan susu ini?"

Orang itu menjawab, "Saya berjalan melewati seekor onta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu saya mengambil susunya." Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru diminumnya.